Dongeng 3 Kucing Ksatria dan Naga Sakti.
Dongeng 3 Kucing Ksatria dan Naga Sakti adalah pesan yang mengajarkan untuk berhati-hati dengan informasi, kabar, cerita yang kita terima.
Dongeng 3 Kucing Ksatria dan Naga Sakti ingin menyampaikan sebuah pesan. Bahwa apa yang kita dengar, belum tentu benar adanya.
Butuh ketelitian dan sikap dewasa untuk menyikapi kabar yang belum diketahui kebenarannya. Selamat membaca.
Satu kucing jagoan yang berwarna putih bersifat bijaksana. Dia mencoba merangkul mereka dalam satu ikatan persatuan, namun gagal.
Semakin lama berita itu semakin santer. Dan kini makhluk itu dikabarkan akan mendekati wilayah tempat tiga jagoan kucing berada.
"Kini si Naga dikabarkan akan mendatangi wilayah kita. Apa yang mesti kita lakukan?" tanyanya.
"Aku akan menyerang Naga itu di sarangnya sebelum dia datang ke kampung kita," sahut si Kucing hitam dengan semangat.
"Setuju. Lebih baik kita menyerang Naga itu di kandangnya. Jika dia duluan datang dan menyerang sini. Akan terjadi banyak korban dan kerusakan yang tidak diharapkan. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Betul tidak pak Ketua," sahut si kucing Kuning sambil menatap Kepala Kampung.
"Setuju Kuning," ucap ketua Kampung.
"Kalau menurutku kita selidiki dulu kebenaran dari berita itu. Bisa jadi hanya kabar burung yang dibesar-besarkan. Kita tahu sendiri jika suatu berita menyebar. Dari sejengkal bisa jadi sehasta. Dari sehasta bisa jadi setumbak," usul si Kucing Putih.
"Betul itu Putih," tukas kepala Kampung.
"Kepala Kampung, bagaimana ini. Usul si Kuning engkau setujui. Eh usul si Putih juga engkau setujui. Plin plan benar," tanya si Hitam dengan sedikit sewot.
"Menurutmu usul mana yang lebih baik?" sahut kepala Kampung balik bertanya.
"Aku lebih setuju pendapat si Kuning. Kita serang Naga itu di sarangnya," kata si Hitam.
"Ya sudah kita putuskan nyerang Naga itu di sarangnya. Besok kita ramai-ramai berangkat," putus si Kepala Kampung.
"Tidak begitu caranya pak Ketua," si Hitam menyela.
"Bagaimana caranya?" tanya Kepala kampung keheranan.
"Aku akan menyerang Naga itu sendirian," sahut si Hitam.
"Tidak boleh begitu, kita harus kerjasama. Susah senang ditanggung bersama. Semakin banyak orang, maka akan semakin mudah," ucap si Ketahui.
"Tidak. Setuju atau tidak, aku akan menyerangnya sendiri. Pedang ini yang akan menemaniku," si Hitam masih keras kepala.
"Bagaimana menurutmu Kuning apakah engkau juga berpendirian sama dengan si Hitam?" tengok Kepala Kampung ke arah si Kuning.
"Iya," jawab si Kuning pendek.
Keadaan menjadi hening ketika Kepala Kampung tampak berpikir. Dia mendekati si Putih dan berbisik-bisik.
"Baiklah jika si Hitam dan si Kuning ingin menyerang sendirian. Walau pada dasarnya kami tidak setuju namun apalah daya. Itu keinginan kalian masing-masing. Aku putuskan, engkau Hitam, besok kamu berangkat ke sana. Lusa, giliran kamu Kuning. Lalu giliran kamu putih. Nanti jika gagal kita berangkat bersama-sama. Setuju?" tanya kepala Kampung kepada semua yang hadir.
"Setuju," jawab para kucing serempak.
Namun nampaknya harapan itu tidak menjadi kenyataan. Sore hari si Hitam pulang dengan bulu yang hangus dan muka yang kecewa.
"Apakah engkau berhasil. Kenapa bulumu hangus?" tanya sang Kepala Kampung penuh penasaran.
"Aku gagal. Ketika tiba di depan goa, kutantang dan kuserang Naga itu. Namun mulutnya ternyata mengeluarkan api. Untung ada air, aku meloncat ke sana sebelum tubuhku terbakar. Dan inilah hasilnya," jawab si Hitam sambil memegang bulunya.
"Bagaimana kuning, apakah masih mau berangkat sendirian?" tanya sang kepala Kampung dengan penuh rasa khawatir.
" Ya. Dan aku akan membawa tameng selain tombakku ini. Pasti Naga itu kukalahkan," tegas si Kuning sambil mengangkat tombak di tangannya.
Besoknya si Kuning berangkat dengan penuh percaya diri. Tatapan was-was dari teman-temannya ia abaikan.
Seperti kemarin, para kucing menunggu kepulangan si Kuning di pintu kampung. Nampak dikejauhan si Kuning datang dengan langkah lesu.
"Bagaimana, apakah berhasil?" tanya Kepala Suku.
"Gagal. Waktu aku tiba di sana. Langsung Aku serang dia dengan tombak. Ternyata benar apa kata si Hitam. Dia mengeluarkan api dari mulutnya. Aku gunakan tameng besi untuk melindungi tubuhku. Namun ternyata api tersebut membuat panas tameng tersebut dan membuat kedua telapak tanganku melepuh. Pertama yang kanan, kedua yang kiri ketika aku ganti posisi. Sehabis itu aku kabur, karena tanganku tak dapat memegang senjata apapun," kata si Kuning dengan raut sedih.
"Tidak apa-apa yang penting kamu bisa pulang Kuning. Putih, apakah kita masih akan menjalakankan rencana ketiga?"
"Kita coba saja kepala Suku. Doakan semoga berhasil," angguk si Putih.
Yang ia bawa hanyalah buntalan makanan. Tentu saja hal ini membuat keheranan seisi kampung terkecuali kepala Suku.
Sore hari si Putih tak nampak pulang. Tentu saja kenyataan ini membuat bermacam-macam prasangka di benak warga kucing.
"Kepala Suku, apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang warga. Nampaknya dia sangat memperhatikan keselamatan si Putih.
"Kita tunggu dia sampai Maghrib."
Namun ternyata Maghribpun si Putih belum juga pulang. Semakin jelas raut gelisah di wajah para penduduk.
"Kepala Suku, apakah kita susul saja si Putih?" tanya seorang warga dengan tidak sabar.
"Tunggu hingga Isya. Jika si Putih belum datang. Kita berembuk lagi."
Ketika Isya datang, si Putih akhirnya datang. Nampak mukanya tersenyum. Buntalan yang ia bawa tidak berubah. Nampak penuh dengan barang-barang.
"Bagaimana, apakah kamu berhasil menaklukan Naga itu?" tanya si Hitam penasaran.
"Tidak," jawab si Putih.
"Apakah kamu datang ke sarang itu," timbrung si Kuning penasaran.
"Iya."
"Kulihat tidak ada sesuatu yang terbakar di tubuhmu. Dengan cara apa engkau menghadapi Naga itu?" kejar si Hitam penuh rasa ingin tahu.
"Aku datang ke goa itu. Dan mengajak ngobrol si Naga. Sambil kuberikan makanan yang kubawa. Ia menerimaku dengan baik dan memberi hidangan seekor Tikus panggang yang lezat. Hingga aku lupa waktu kalau hari sudah Maghrib," sahut si Putih.
"Kenapa Naga itu tidak menyerang kamu?" tanya kepala Suku.
"Karena aku tidak menyerangnya. Naga itu bercerita padaku. Katanya ia heran, kenapa kucing yang datang sebelumku tiba-tiba menyerangnya. Padahal tidak ada permusuhan. Maka ia membela diri dengan menyemburkan apinya. Lalu kuceritakan tentang kabar yang berseliweran hingga tiba di telinga kami." Si Putih berhenti sesaat, sambil melihat wajah-wajah yang penasaran dengan lanjutan ceritanya.
"Si Naga itu terlihat sedih. Dia merasa tidak pernah menyerang siapapun. Apalagi sampai menyerang suatu kampung. Mungkin ada makhluk yang ketakutan ketika melihatnya sehingga menyebarkan cerita tidak benar. Dan cerita semakin lama semakin besar. Tentunya dengan bumbu di sana sini. Hingga semakin sadis citra si Naga di mata umum. Nah itulah yang sebenarnya terjadi kepala suku. Si Naga sebetulnya baik. Lihat ini karung. Berisi dengan tikus bakar sebagai hadiah darinya," kata si Putih sambil membuka simpul tali karung. Nampak banyak tikus bakar.
"Oh begitu Putih ceritanya. Nah wargaku, kini kita tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya tentang si Naga. Kita tidak boleh lagi langsung percaya terhadap berita-berita yang beredar. Kita harus teliti dulu sumber asalnya. Jika tidak diketahui asal-usulnya kita diamkan saja. Cukup sampai diri kita saja. Terutama kamu Hitam dan Kuning. Tentu hal ini bisa menambah wawasan kamu. Setuju?" tanya kepala Suku.
"Setuju," terdengar teriakan seluruh warga.
Dongeng yang lain: Kisah Setan yang Ditipu oleh Seorang Pembohong
Demikian cerita Dongeng 3 Kucing Ksatria dan Naga Sakti ini. Semoga dapat menghibur para pembaca. Salam.
Butuh ketelitian dan sikap dewasa untuk menyikapi kabar yang belum diketahui kebenarannya. Selamat membaca.
Dongeng 3 Kucing Ksatria dan Naga Sakti.
Di suatu kampung ada tiga kucing jagoan. Dua dari mereka yaitu yang berwarna hitam dan kuning saling bersaing, tidak mau bekerja sama. Masing-masing ingin menunjukkan kehebatannya.Satu kucing jagoan yang berwarna putih bersifat bijaksana. Dia mencoba merangkul mereka dalam satu ikatan persatuan, namun gagal.
Kabar Naga.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa di suatu wilayah ada seekor Naga. Makhluk itu dikabarkan sangat ganas dan kejam. Dengan semburan apinya dia membakar makhluk yang mencoba mendekatinya.Semakin lama berita itu semakin santer. Dan kini makhluk itu dikabarkan akan mendekati wilayah tempat tiga jagoan kucing berada.
Musyawarah Kucing
Tentu kabar ini membuat kepala kampung yaitu kucing Ungu gundah. Akhirnya dia memanggil ketiga kucing jagoan untuk melawan sang Naga tersebut."Kini si Naga dikabarkan akan mendatangi wilayah kita. Apa yang mesti kita lakukan?" tanyanya.
"Aku akan menyerang Naga itu di sarangnya sebelum dia datang ke kampung kita," sahut si Kucing hitam dengan semangat.
"Setuju. Lebih baik kita menyerang Naga itu di kandangnya. Jika dia duluan datang dan menyerang sini. Akan terjadi banyak korban dan kerusakan yang tidak diharapkan. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Betul tidak pak Ketua," sahut si kucing Kuning sambil menatap Kepala Kampung.
"Setuju Kuning," ucap ketua Kampung.
"Kalau menurutku kita selidiki dulu kebenaran dari berita itu. Bisa jadi hanya kabar burung yang dibesar-besarkan. Kita tahu sendiri jika suatu berita menyebar. Dari sejengkal bisa jadi sehasta. Dari sehasta bisa jadi setumbak," usul si Kucing Putih.
"Betul itu Putih," tukas kepala Kampung.
"Kepala Kampung, bagaimana ini. Usul si Kuning engkau setujui. Eh usul si Putih juga engkau setujui. Plin plan benar," tanya si Hitam dengan sedikit sewot.
"Menurutmu usul mana yang lebih baik?" sahut kepala Kampung balik bertanya.
"Aku lebih setuju pendapat si Kuning. Kita serang Naga itu di sarangnya," kata si Hitam.
"Ya sudah kita putuskan nyerang Naga itu di sarangnya. Besok kita ramai-ramai berangkat," putus si Kepala Kampung.
"Tidak begitu caranya pak Ketua," si Hitam menyela.
"Bagaimana caranya?" tanya Kepala kampung keheranan.
"Aku akan menyerang Naga itu sendirian," sahut si Hitam.
"Tidak boleh begitu, kita harus kerjasama. Susah senang ditanggung bersama. Semakin banyak orang, maka akan semakin mudah," ucap si Ketahui.
"Tidak. Setuju atau tidak, aku akan menyerangnya sendiri. Pedang ini yang akan menemaniku," si Hitam masih keras kepala.
"Bagaimana menurutmu Kuning apakah engkau juga berpendirian sama dengan si Hitam?" tengok Kepala Kampung ke arah si Kuning.
"Iya," jawab si Kuning pendek.
Keadaan menjadi hening ketika Kepala Kampung tampak berpikir. Dia mendekati si Putih dan berbisik-bisik.
"Baiklah jika si Hitam dan si Kuning ingin menyerang sendirian. Walau pada dasarnya kami tidak setuju namun apalah daya. Itu keinginan kalian masing-masing. Aku putuskan, engkau Hitam, besok kamu berangkat ke sana. Lusa, giliran kamu Kuning. Lalu giliran kamu putih. Nanti jika gagal kita berangkat bersama-sama. Setuju?" tanya kepala Kampung kepada semua yang hadir.
"Setuju," jawab para kucing serempak.
Menaklukkan Sang Naga
Esoknya si kucing Hitam berangkat dengan gagah menuju tempatnya sang Naga diiringi oleh tatapan dan do'a kucing sekampung. Berharap si Hitam membawa kemenangan.Namun nampaknya harapan itu tidak menjadi kenyataan. Sore hari si Hitam pulang dengan bulu yang hangus dan muka yang kecewa.
"Apakah engkau berhasil. Kenapa bulumu hangus?" tanya sang Kepala Kampung penuh penasaran.
"Aku gagal. Ketika tiba di depan goa, kutantang dan kuserang Naga itu. Namun mulutnya ternyata mengeluarkan api. Untung ada air, aku meloncat ke sana sebelum tubuhku terbakar. Dan inilah hasilnya," jawab si Hitam sambil memegang bulunya.
"Bagaimana kuning, apakah masih mau berangkat sendirian?" tanya sang kepala Kampung dengan penuh rasa khawatir.
" Ya. Dan aku akan membawa tameng selain tombakku ini. Pasti Naga itu kukalahkan," tegas si Kuning sambil mengangkat tombak di tangannya.
Besoknya si Kuning berangkat dengan penuh percaya diri. Tatapan was-was dari teman-temannya ia abaikan.
Seperti kemarin, para kucing menunggu kepulangan si Kuning di pintu kampung. Nampak dikejauhan si Kuning datang dengan langkah lesu.
"Bagaimana, apakah berhasil?" tanya Kepala Suku.
"Gagal. Waktu aku tiba di sana. Langsung Aku serang dia dengan tombak. Ternyata benar apa kata si Hitam. Dia mengeluarkan api dari mulutnya. Aku gunakan tameng besi untuk melindungi tubuhku. Namun ternyata api tersebut membuat panas tameng tersebut dan membuat kedua telapak tanganku melepuh. Pertama yang kanan, kedua yang kiri ketika aku ganti posisi. Sehabis itu aku kabur, karena tanganku tak dapat memegang senjata apapun," kata si Kuning dengan raut sedih.
"Tidak apa-apa yang penting kamu bisa pulang Kuning. Putih, apakah kita masih akan menjalakankan rencana ketiga?"
"Kita coba saja kepala Suku. Doakan semoga berhasil," angguk si Putih.
Sang Penakluk Naga
Besoknya giliran si Putih yang berangkat. Dia tidak membawa pedang, tidak pula membawa tombak.Yang ia bawa hanyalah buntalan makanan. Tentu saja hal ini membuat keheranan seisi kampung terkecuali kepala Suku.
Sore hari si Putih tak nampak pulang. Tentu saja kenyataan ini membuat bermacam-macam prasangka di benak warga kucing.
"Kepala Suku, apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang warga. Nampaknya dia sangat memperhatikan keselamatan si Putih.
"Kita tunggu dia sampai Maghrib."
Namun ternyata Maghribpun si Putih belum juga pulang. Semakin jelas raut gelisah di wajah para penduduk.
"Kepala Suku, apakah kita susul saja si Putih?" tanya seorang warga dengan tidak sabar.
"Tunggu hingga Isya. Jika si Putih belum datang. Kita berembuk lagi."
Ketika Isya datang, si Putih akhirnya datang. Nampak mukanya tersenyum. Buntalan yang ia bawa tidak berubah. Nampak penuh dengan barang-barang.
"Bagaimana, apakah kamu berhasil menaklukan Naga itu?" tanya si Hitam penasaran.
"Tidak," jawab si Putih.
"Apakah kamu datang ke sarang itu," timbrung si Kuning penasaran.
"Iya."
"Kulihat tidak ada sesuatu yang terbakar di tubuhmu. Dengan cara apa engkau menghadapi Naga itu?" kejar si Hitam penuh rasa ingin tahu.
"Aku datang ke goa itu. Dan mengajak ngobrol si Naga. Sambil kuberikan makanan yang kubawa. Ia menerimaku dengan baik dan memberi hidangan seekor Tikus panggang yang lezat. Hingga aku lupa waktu kalau hari sudah Maghrib," sahut si Putih.
"Kenapa Naga itu tidak menyerang kamu?" tanya kepala Suku.
"Karena aku tidak menyerangnya. Naga itu bercerita padaku. Katanya ia heran, kenapa kucing yang datang sebelumku tiba-tiba menyerangnya. Padahal tidak ada permusuhan. Maka ia membela diri dengan menyemburkan apinya. Lalu kuceritakan tentang kabar yang berseliweran hingga tiba di telinga kami." Si Putih berhenti sesaat, sambil melihat wajah-wajah yang penasaran dengan lanjutan ceritanya.
"Si Naga itu terlihat sedih. Dia merasa tidak pernah menyerang siapapun. Apalagi sampai menyerang suatu kampung. Mungkin ada makhluk yang ketakutan ketika melihatnya sehingga menyebarkan cerita tidak benar. Dan cerita semakin lama semakin besar. Tentunya dengan bumbu di sana sini. Hingga semakin sadis citra si Naga di mata umum. Nah itulah yang sebenarnya terjadi kepala suku. Si Naga sebetulnya baik. Lihat ini karung. Berisi dengan tikus bakar sebagai hadiah darinya," kata si Putih sambil membuka simpul tali karung. Nampak banyak tikus bakar.
"Oh begitu Putih ceritanya. Nah wargaku, kini kita tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya tentang si Naga. Kita tidak boleh lagi langsung percaya terhadap berita-berita yang beredar. Kita harus teliti dulu sumber asalnya. Jika tidak diketahui asal-usulnya kita diamkan saja. Cukup sampai diri kita saja. Terutama kamu Hitam dan Kuning. Tentu hal ini bisa menambah wawasan kamu. Setuju?" tanya kepala Suku.
"Setuju," terdengar teriakan seluruh warga.
Semua Bahagia
Dan malam itu mereka mengadakan pesta sambil bersyukur karena keadaan tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya.Dongeng yang lain: Kisah Setan yang Ditipu oleh Seorang Pembohong
Demikian cerita Dongeng 3 Kucing Ksatria dan Naga Sakti ini. Semoga dapat menghibur para pembaca. Salam.