-->

Cerita Cinta Romantis di Sawarna

Cerita cinta romantis ini mengisahkan hubungan remaja masa kini yang berlatar belakang pantai Sawarna, Lebak, Banten
Cerita Cinta Romantis. Kisah ini ingin mengatakan bahwa tempat mancing pun bisa menghadirkan suatu romansa tersendiri.

Tanpa berpanjang-panjang biar tidak penasaran, yuk ah kita simak.


Cerita Cinta Romantis di Sawarna

Malam ini indah. Bintang bertaburan keperakan. Jelita matanya berkedip. Seakan tatapan mata kucing yang polos penuh cinta.

Tatkala hembusan angin laut menerpa rambut Dios. Dia tersenyum senang. Duduk di sisi pantai sambil menatap langit adalah gairahnya.

Kota Jakarta tak memberikan itu semua. Lampu-lampu kota menutupi pekatnya malam. Menyembunyikan bintang di selimut asap. Karena manusia terus bergerak di jalanan.

Sesekali Dios bangkit dari tempat duduknya. Meraba senar pancing yang terpentang lurus. Berharap ada sapaan dari penghuni pantai Sawarna yang menambah hangatnya hati.

Sayang, saat itu dua pancingan yang terus mencoba untuk berdiri tegak di pantai menahan kencangnya terpaan angin tidak memberinya kabar baik. Sepi. Tak ada sapaan dari penghuni laut sana.

Diapun berbaring di sisi tendanya. Terlentang di atas matras. Kembali menikmati semua pesona alam ini. Tak ada raut kecewa di wajahnya. Nanti juga datang, pikirnya.

Gambar di pinggir laut

Gelap sekeliling, hanya lampu badai yang mampu melawan. Suara demburan ombak mengiringi dingin angin yang merasuk ke dalam tubuh. Membawanya ke satu ingatan.

"Apakah perempuan tomboy itu akan menelepon," gumamnya.

Dia tertawa sendiri jika mengingat perempuan berjilbab itu, Dian namanya. Kenapa jika terlintas bayangannya, selalu saja terngiang ucapan emaknya.

"Dios, kapan kamu menikah. Usiamu sudah cukup untuk berumah tangga. Bawalah emak untuk melamar calon isterimu itu."

Berungkali ucapan itu terlontar dari mulut emaknya. Dios hanya bisa tersenyum sambil menjawab, "Emak doakan saja. Semoga Dios cepat bertemu wanita idaman. Nanti kita melamar sama-sama."

Terkadang jawaban Dios disertai dengan sebuah garukan di kepalanya yang tidak gatal. Berharap emaknya tidak melanjutkan pertanyaan itu. Menandakan kebingungan. Dan cara itu biasanya selalu berhasil.

"Iya, Emak doain." Sebuah jawaban yang selalu Dios nantikan. Untuk sesaat masalah menjadi beres.

"Apakah aku nikah saja dengan Dian? Tapi perempuan ini bukan tipe idaman. Dia sedikit tomboy, sedangkan aku suka wanita yang lemah lembut dan keibuan. Sedangkan dirinya..."

Membayangkan Dian membuat Dios tersenyum-senyum sendiri. Kemarin sebelum berangkat ke Pantai Sawarna mereka masih bertemu. Waktu itu Dian sedang bermain kartu bergambar dengan anak-anak kecil.

Tampak Dian tertawa senang karena dia berhasil memenangkan permainan. "Siapa yang mau beli kartu?" ucapnya sambil melihat kawan mainnya.

"Saya, Kak," jawab salah satu anak kecil. Tampaknya dia kalah main.

"Sini uangnya. Seribu segepok," sahut Dian. Anak kecil itu setuju. Terjadilah jual beli diantara mereka.

Dios hanya melihat dari pinggir sambil tertawa dalam hati melihat pemandangan ini.

"Kang, mau ikut main?" tanya Dian. Dia memanggil Dios dengan sebutan akang. Ternyata walau mereka teman akrab dan sering berjalan bersama, Dian tidak melupakan sopan santun. Wanita idaman pria nih.

"Tidak, aku nonton saja. Kalau menang banyak, jangan lupa traktir baso yah," canda Dios.

"Siap," jawab Dian dengan nada centil dan menggemaskan. Walau Dios sering mendengar ucapan dan melihat ekspresi Dian namun anehnya dia tidak merasa bosan. Selalu merasa kangen.

"Coba dia tidak tomboy. Rasanya tak perlu bingung lagi menjawab pertanyaan Emak tentang pernikahan," batin Dios.

Lamunan Dios buyar ketika tiba-tiba pancingan bergoyang-goyang. Sontak ia bergegas bangun dan menghampiri pancingan. Digulungnya tali senar dengan rasa senang. Walau dari perlawanan ikan, dia tahu yang didapat hanyalah ikan kecil.

Benar saja, ketika ikan mendarat ukurannya memang tidak besar. Hanya seukuran telapak tangan. "Ah, ikan hias, tidak apa-apa deh. Lumayan untuk makan malam," gumamnya pelan.

Setelah membereskan pancingan dan melempar kembali kail ke laut Dios membawa ikan ke dekat lampu. Kemudian mengambil gambar ikan dengan ponselnya.

Si Tomboy Kesal

"Update di Facebook aah," batinnya. Setelah beres mengirim gambar, ia kemudian membuat api unggun dan membakar ikannya hingga matang.

Terdengar ponselnya berdering. Ada nama "si tomboy" tertera di layar. Dios tersenyum.

"Hai Kang. Sombong nih jalan-jalan ke Sawarna sendirian saja. Besok Dian nyusul ke sana yah. Tolong kirim lokasinya," terdengar suara Dian nyerocos. Dari nada bicaranya tersirat ada rasa kecewa.

"Maafin akang, Dian. Tapi mancing di pantai Sawarna ini tidak ada rencana sebelumnya. Mendadak. Jadi tidak bisa ngajak kamu," sahut Dios.

"Kenapa bisa mendadak?" selidik Dian. Sepertinya dia masih penasaran. Mengapa dirinya tidak diajak jalan-jalan.

"Begini. Akang tertarik melihat cerita dan photo orang mancing di pantai Sawarna di internet. Jika akang ngajak kamu pasti tidak bisa berangkat Jum'at ini. Butuh persiapan kaan. Kamu juga pasti ngajak teman perempuan untuk menemani. Tidak mungkin hanya kita berdua saja yang di sini. Bisa-bisa pulang bertiga," kata Dios lembut mencoba menenangkan rasa kecewa Dian.

"Ooh begitu. Okeh, tidak apa-apa. Besok aku nyusul ke sana ya..," sahut Dian. Dari nada "okeh"nya yang menggemaskan Dios tahu jika Dian sudah merasa baikan.

"Kamu ke sini dengan siapa?" tanya Dios penasaran.

"Rani," jawab Dian pendek.

Dios tahu jika Rani adalah teman dekat Dian. Beberapa kali mereka sering bertemu dan ngobrol. "Mau naik kendaraan apa ke sini?" tanya Dios.

"Motor." jawab Dian.

"Hati-hati di jalannya."

"Iyah. Akang, bawa beras tidak?

"Tidak."

"Alat masak?"

"Tidak. Memang kenapa?"

"Nanti kita bawa. Masak-masak di sana."

"Terserah Dian. Bagi Akang, yang penting kamu selamat. Nanti kalau ada apa-apa kabari ya..,"

"Woke,"

Percakapan berakhir.

Memori Indah

"Ah kamu tomboy, mana bisa masak," gumam Dios. Terbayang olehnya waktu pertama kali bertamu ke rumah Dian. Selama lima belas menit mereka ngobrol. Tak ada suguhan apapun.

"Kemarau membuat Jakarta semakin panas. Air kering di mana-mana," maksud Dios menyindir Dian karena tidak memberi tamu air.

"Iyah Kang. Air ledeng kadang-kadang kecil ngalirnya," sahut Dian polos. Membuat Dios gemas.

"Memang Dian masak air minum dari air ledeng?" tanya Dios. Masih dengan sindirannya.

"Tidak. Beli air galon," jawab Dian masih belum mengerti ke arah mana pembicaraan pria di hadapannya ini.

"Ah, kamu mah bohong. Akang tidak percaya."

"Betul. Dian tidak bohong. Buat apa bohong," kata Dian dengan muka cemberut.

"Kalau Dian tidak bohong, mana buktinya. Di sini tidak ada air minum," ucap Dios sambil tertawa meledek.

"Oh mau minum. Lupa... Sebentar Kang," sahut Dian dengan muka cengengesan. Kini dia baru sadar kalau dirinya belum menyuguhi tamu.

Semenjak itu jika Dios datang bertamu, Dian selalu menyuguhi air minum.

Terbayang juga oleh Dios ketika menunggu Dian yang sedang ke luar rumah.

"Dari mana?" tanya Dios waktu perempuan itu datang.

"Beli lauk untuk makan."

"Apakah kamu tidak masak?"

"Tidak bisa."

"Wanita jika ingin suaminya betah di rumah mesti bisa masak. Agar suami tidak jajan di luar," canda Dios. Dian hanya tersenyum saja.

"Apakah si tomboy itu yang akan masak atau si Rani. Atau jangan-jangan mesti aku yang masak," batinnya sambil membayangkan kelucuan yang akan terjadi. Pria memasak untuk dua wanita. Seru sepertinya.

Tersentak Dios dari lamunan ketika pancingannya bergoyang-goyang dan menunduk. Cepat-cepat dia menggulung tali pancingan berharap ada ikan besar yang memakan umpan.

Namun harapan tinggal harapan. Ikan yang didapat tetaplah ikan kecil. "Tidak apa-apa daripada tidak dapat sama sekali," pikirnya.

Api unggun semakin mengecil mengiringi malam yang semakin larut. Dios kini sudah masuk ke tenda untuk tidur setelah menghabiskan ikan terakhir yang dia panggang. Tak lama kemudian dia terlelap dipelukan malam.

Kisah Cinta

Sore itu pantai Sawarna ramai. Padahal hanya ada tiga orang. Ya, jika ingin meramaikan dunia. Cukup beri dua wanita saja. Pasti tempat itu akan ramai dengan celotehannya.

Ternyata Dian dan Rani telah tiba. Mereka membawa berbagai macam peralatan dan makanan. Dan tak lupa cerita perjalanan.

Dios tersenyum senang melihat mereka datang dan ikut membantu menurunkan peralatan.

Ketika semua sudah beres.

"Indaah," teriak Dian sambil mengangkat tangannya sambil memutarkan badan.

"Iyah nih. Mungkin kalau kang Dios tidak upload photo di Facebook. Kita tidak tahu ada tempat seindah ini," sahut Rani.

"Makanya gaul," ucap Dios sambil tersenyum melihat keceriaan dua temannya ini.

"Makanya ngajak," sewot Dian. Membuat senyum Dios tambah lebar.

"Iyah...iyah... Maaf masih dendam saja," katanya sambil garuk-garuk kepala.

"Makanya kalian nikah," celetuk Rani.

Ketika mendengar ucapan Rani, ekspresi muka Dios dan Dian berubah. Dios terlihat sedikit kaget, sedangkan Dian mukanya memerah dan sedikit kikuk.

"Apaan sih Rani," sahut Dian sambil mencubit Rani. Yang dicubit menjerit kecil.

"Kalian jalan-jalan dulu. Tuh di sana ada karang tinggi. Bisa buat selfi," ucap Dios mencoba menutupi kekakuan yang tiba-tiba menghampirinya.

"Jauh?" tanya Dian.

"Dekat," jawab Dios.

"Ya udah. Yuk Yan, kita berangkat. Pernikahan kalian kita bicarakan saja nanti," kata Rani tanpa tedeng aling-aling.

"Apaan sih, tidak jelas," sahut Dian sambil menarik tangan Rani. Meninggalkan Dios yang sedikit termenung.

Mereka mulai berjalan menyusuri pantai diiringi tatapan aneh pria ini.

"Apakah begitu perasaan yang ada dalam hatinya?" gumamnya sambil menggaruk kepala.

Rasa yang Tak Biasa

Malam telah datang.

Dios telah menyalakan lampu, menyiapkan api unggun untuk masak dan tak lupa mendirikan pancingan miliknya.

Kini dia sedang memperhatikan Dian yang sedang sibuk memasak dibantu oleh Rani dari kejauhan.

Dilihatnya Dian mulai pintar memasak. Namun Dios masih tidak percaya akan rasa yang dihasilkan nantinya. Ia menunggu semua beres dengan perasaan tidak sabar.

Tak lama kemudian Rani berteriak "Saatnya memberi makan suami."

"Apaan siih," sahut Dian sambil tangannya mencubit lengan Rani.

"Aaww... sakit tahu," jerit Rani.

"Rasakan. Kang ayo kita makan," teriak Dian mencoba mengalahkan suara deburan air laut yang kencang.

Dios yang dari tadi senyum-senyum sendiri melihat kelakuan temannya mendekati tenda tempat digelarnya makanan.

Kini mereka sudah duduk mengelilingi makanan. Nasi putih, tempe, tahu, ayam dan sambel nampak menggugah selera.

"Mau ngambil sendiri, apa mau diambilin oleh isteri Kang?" tanya Rani. Mendengar itu, Dian tampak melotot gemas.

Dios yang dari tadi mendengar kata isteri terus diucapkan akhirnya memutuskan untuk ikut permainan Rani. "Kalau ada isteri, kenapa harus ngambil sendiri," ucapnya diikuti dengan sebuah tawa kecil.

"Nah tuh, suami minta diambilkan nasinya Yan," kata Rani sambil memandang ke arah Dian.

"Ih kenapa sih Ran. Kang Dios kan bisa ngambil sendiri," jawab Dian cemberut. Namun mukanya tidak terlihat kesal.

"Eh dosa tahu. Kualat tidak patuh sama suami. Betul tidak Kang," sahut Rani mencoba mencari dukungan Dios.

"Betul itu," jawab Dios. Terlanjur basah pikirnya.

"Hadeuh.. kok jadi Dian yang repot," kata Dian. Ucapan tidak sesuai kenyataan. Tampak Dian menyiduk nasi, mengambil lauk dan sambel dengan senang.

"Segini cukup Kang?" tanya Dian sambil menatap Dios. Tampak ada percikan cinta di sana.

Dios yang melihat tatapan itu untuk sesaat tertegun. Namun cepat menguasai keadaan.

"Iyah. Kan nanti kalau mau nambah tinggal ngambil lagi," jawabnya sambil menerima piring yang disodorkan. Rani tampak puas melihat keadaan ini. Entah apa yang dia pikirkan.

Ketika Dios menyuapkan nasi dan tempe ke mulutnya, dia bergumam di hati, "Sejak kapan si tomboy bisa masak. Enak nih."

Beres makan, mereka duduk-duduk menghadap pantai. Dian berada di tengah-tengah posisinya.

"Geser," terdengar beberapa kali Rani meminta Dian untuk menggeser posisinya sambil mereka ngobrol. Hingga membuat Dian dengan Dios posisinya dekat sekali.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Malam mulai bertambah dingin. Namun obrolan mereka tetap hangat. Hingga Rani berkata, "Aku duluan yah. Kamu temani kang Dios di sini."

"Tapi...," sahut Dian seperti keberatan.

"Sudah. Temani kang Dios mancing. Katanya kamu mau marahin dia," jawab Rani. Tanpa menunggu persetujuan, Rani melangkah ke arah tenda dan masuk ke dalam.

"Siapa yang mau marahin," terdengar suara Dian seperti merasa tidak pernah bicara seperti itu.

"Iya, siapa yang mau marahin. Terang kamu suka sama dia," batin Rani sambil tersenyum sendiri.

Kini di luar tinggal Dios dan Dian berdua. Mereka ngobrol ngalor ngidul. Tentang kisah masing-masing. Dian dengan cerita di jalannya. Dios dengan cerita kemahnya.

"Sudah malam. Kamu tidur sana. Pastinya kamu capek," kata Dios dengan lembut.

"Akang tidak apa-apa sendirian," jawab Dian sambil menatap pria itu.

"Kemarin kan Akang juga sendirian. Sudah kamu tidur, biar Akang yang ronda. Jagain kalian," ucap Dios sambil tersenyum.

"Ya sudah, aku tidur duluan yah Kang," jawab Dian sambil beringsut bangun, kemudian melangkahkan kakinya ke tenda.

"Iya," jawab Dios. Pandangannya mengikuti langkah Dian, hingga menghilang dibalik tenda.

Ada rasa yang berbeda yang kini dirasakan oleh Dios. Tak tahu kenapa benih cinta mulai tumbuh. Apa yang terjadi, pikirnya.

Tersadar

Malam semakin tua.

Nampak Dios sedang mengangkat seekor ikan. Sepertinya Sawarna sedang bersahabat.

"Kang, ikannya besar," satu suara mengagetkan Dios.

Menengok ke arah suara. Ada Rani di sana. "Kecil Ran, kenapa belum tidur?" jawab Dios sambil memperlihatkan ikan hasil pancingan.

"Sengaja. Ada yang ingin Rani bicarakan," sahut Rani. Pandangannya menuju ke arah ikan yang ada dalam genggaman Dios.

"Oh begitu, sebentar," ucap dios sambil memasukkan ikan ke wadah. Dan mendirikan pancing. "Yuk sini, mau ngobrol apa kita?" ajaknya sambil duduk di matras.

"Apakah Akang menyukai Dian?" tanya Rani.

Sebuah pertanyaan yang cukup mengagetkan Dios, terlihat dari wajahnya. Namun hanya sebentar, "Suka, memang kenapa?" jawabnya.

"Mau menikahinya?" sepertinya Rani ingin lebih penegasan. Suka banyak macamnya, pikir Rani.

"Seandainya dia tidak tomboy," sahut Dios.

"Apakah Akang sekarang masih melihat Dian sebagai wanita tomboy?" selidik Rani.

"Mulai berkurang, Akang melihatnya seperti itu," Dios menjawab sambil menatap ke langit, seakan menerawang sesuatu.

"Itu semua karena Akang," ucap Rani dengan nada penuh penekanan.

"Kok bisa?" kali ini giliran Dios yang menyelidik.

"Iya. Dian sering cerita tentang Akang. Semua saran Akang bagaimana wanita seharusnya, dia lakukan. Contohnya tadi sudah Akang lihat sendiri. Dia sekarang sudah bisa memasak," urai Rani penuh semangat.

"Benarkah semua itu karena Akang?" sedikit terperangah Dios mendengar cerita Rani ini. Tak menyangka yang tadi terjadi di sini karena akibat ucapannya.

"Iyah. Dan sepertinya dia suka sama Akang. Kalau perasaan Akang terhadap dia sekarang bagaimana," sahut Rani dengan pandangan penasaran. Ingin melihat apa yang ada dalam perubahan sikap dan raut muka Dios.

"Entahlah, suka iyah, tapi belum yakin, sepertinya masih butuh sedikit tanda untuk merasa teguh," jawab Dios sambil menggaruk kepalanya, nada ragu terselip dalam ucapannya.

"Akang ingin dapat ikan yang besar atau yang kecil?" Rani memberikan sebuah pertanyaan yang sedikit membingungkan Dios.

"Yang besarlah," jawabnya pendek. Walau penasaran, namun ia menunggu ucapan Rani selanjutnya

"Sekarang dapat ikan besar atau kecil?" lanjut Rani.

"Kecil."

"Disyukuri?"

"Iya."

"Sudah berusaha mendapatkan yang besar?"

"Sudah." kali ini jawabannya sedikit bersemangat. Ingin tahu lebih jauh kemana arah pembicaraan Rani.

"Ada seorang pria, dia ingin wanita sepenuhnya lembut. Namun yang datang kepadanya justru perempuan yang sedikit tomboy. Namun si wanita itu berusaha memperbaiki dirinya agar si pria mau menerima dirinya," ucap Rani yang juga penuh semangat berbicara.

"Dan kisah antara wanita dan pria itu seperti keadaan sekarang ini. Ingin ikan besar, tapi yang datang kecil, namun disyukuri. Begitu bukan?" Ucap Dios.

"Iya, betul."

Hening. Untuk sesaat Dios termenung. Sesekali matanya menatap ke atas. Seperti sedang mencari sebuah jawaban. Rani pun diam, seperti sedang memberikan lawan bicaranya kesempatan untuk berpikir.

Tak lama kemudian Dios berkata memecah keheningan yang ada,
"Baiklah, pulang dari sini kita lamar si wanita itu," senyumnya tampak mengembang. Membuat Rani ikut tersenyum.

"Bagusss.., setuju," teriak Rani kegirangan.

"Sst... Urusan kita sudah selesai. Sekarang, kamu tidur sana," pinta Dios sambil mendekapkan telunjuk ke bibir. Seakan tak ingin rahasia mereka terdengar oleh seseorang.

"Siap," sahut Rani. Senyumnya masih terus mengembang. Langkahnya terlihat senang menuju ke arah tenda.

"Ran, terimakasih yah. Sudah membuka pikiran Akang," kata Dios sedikit menahan langkah Rani.

"Sama-sama," senyumnya belum berhenti juga. Entah siapa yang paling senang di sini. Apakah Dios, Rani atau Dian nantinya setelah mengetahui kabar ini. Hanya Tuhan yang tahu.

Sawarna kali ini tidak terasa dingin lagi bagi Dios. Ada semangat yang baru saja timbul. Tak sabar rasanya ingin kembali ke Jakarta. Ada sesuatu yang harus dilakukan.

Gambar romantis

Cinta Kan Membawamu Kembali

Kini lima tahun berlalu.

Seorang anak perempuan kecil lucu tampak berlarian bahagia di pantai sedang dikejar ibunya.

Seorang lelaki tampan tampak tersenyum menyusul mereka berdua.

"Untung pakai celana pendek," ucap wanita itu ketika melihat kaki si anak yang penuh pasir.

Mereka kini sudah duduk-duduk pada sebuah matras menatap pantai. Makanan dan minuman tersedia di depan mereka.

"Hm... Bisa saja. Dia pakai celana pendek karena menurun dari sifat ibunya," sahut sang suami.

"Tapi suka kan?"

"Tidak. Mungkin sampai sekarang masih khilaf." jawabnya diiringi dengan jeritan, "Sakit...sudah lepasin"

"Sekarang bagaimana," tanya si isteri, tangannya masih memegang pinggang sang suami.

"Iyah. Suka," jawabnya sambil mengusap pipi isterinya yang putih dengan penuh cinta. Dan memasukkan sedikit rambut yang keluar ke dalam kerudung isterinya.

"Pah, ayo kita mancing." Terdengar suara si kecil memutus kemesraan diantara mereka.

"Anak siapa ituuh...?" ledek sang isteri.

"Anak ibunya. Masa perempuan ingin mancing."

"Au.. ah." Si isteri menyahut sambil tertawa kecil. Merasa kena batunya.

Senja mulai turun, warnanya merah. Tempat ini telah menjadi saksi sadarnya seseorang dari keraguan cinta.

Sawarna, Lebak, Banten. Tempat ini pulalah yang juga menjadi saksi bisu bahwa cinta itu telah kembali ke sini.

Baca juga: Cerita Cinta Terlarang

Demikian Cerita Cinta Romantis ini penulis haturkan. Semoga bisa bermanfaat bagi anda pembaca setia blog ini. Salam hangat.
LihatTutupKomentar